Aku sedang duduk di ruang makan, baru
saja menghabiskan semangkuk sop ayam ketika si sulung Anin masuk.
“Sudah pulang, sayang?” Sapaku.
Anin tak menjawab. Dihempaskan tubuhnya di
kursi makan. Tas kecilnya diletakkan sembarangan di atas meja. Pandangan
mataku menangkap raut wajah Anin kusut. Rahangnya mengeras. Sudut-sudut
bibir tertarik ke bawah. Ketajaman inderaku menangkap kemarahan dari ekspresi
wajah dan bahasa tubuh Anin.
“Lha, ada apa ini?” Batinku.
“Anin sebal banget! Ingat Guru Anin
marah tempo hari. Dia bilang percuma saja Anin pintar kalau akhlaknya
buruk!” Kalimat itu terlontar dari mulut Anin disertai tatapan mata
dingin menusuk.
“Mama mengerti Anin marah. Bagaimana
kejadiannya, Nak? Coba Anin cerita dulu.” Aku mengatur nada suaraku setenang
mungkin, meskipun ada rasa panas menjalar di hati. Mau tak mau mendengar
kalimat yang diucapkan Guru Anin itu, emosiku terpengaruh. Terasa reptilian
brainku yang ingin memuaskan nafsu amarah mulai mencolek-colek minta
dimanjakan. Tapi aku menahan keinginan itu.
“Beberapa hari yang lalu, Anin kelaparan.
Terus Anin makan di kantin. Memang sih, sudah masuk jam pelajaran, tapi Anin
lapar. Ada salah satu guru Anin yang melihat. Lalu dia bilang, Anin cepat masuk
ke kelas. Sudah waktunya belajar. Anin bilang, iya sebentar, Bu. Anin masih meneruskan
makan. Terus dia marah. Dia bilang kamu itu percuma saja pintar, kalau
akhlaknya buruk. Nyebelin banget kan, Ma?!!” Intonasi Anin tinggi, berapi-api.
Bibirnya manyun.
“Oh begitu.” Aku mengangguk-angguk, berusaha
mengatur ekspresi wajah tetap tenang. Kalau mau memperturutkan emosi pasti aku
sudah memuntahkan omelan yang bunyinya kira-kira begini.
“Sebagai Guru harusnya tidak boleh bicara
begitu. Kalimat seperti itu efeknya membuat murid merasa upaya belajarnya
sia-sia saja. Lalu dibilang buruk akhlaknya itu seperti tak ada harapan
lagi untuk menjadi lebih baik. Kalau tujuannya ingin membangkitkan semangat dan
motivasi murid untuk berubah, bukan seperti itu cara bicaranya. “
Tapi aku tahu, tak ada gunanya berkata
demikian di depan Anin. Aku malah akan menjadi contoh yang tidak baik.
5 Pillar dalam berkomunikasi. Itulah yang
langsung terpampang di kepalaku ketika aku memikirkan apa yang harus kulakukan.
Baiklah.
Point pertama adalah selesaikan emosi. Emosi siapa? Tentu emosi aku dan emosi Anin. Dalam The Secret of Enlightening Parenting, Mbak Okina Fitriani mengajarkan berbagai teknik menyelesaikan emosi. Aku tinggal memilih cara yang paling pas untuk setiap permasalahan. Dalam hal ini aku memilih untuk menyelesaikan emosi dengan Re-framing, karena cara ini bisa sekaligus digunakan untuk diriku dan Anin, bersama-sama.
Reframing adalah mengubah makna yang
diletakkan pada sebuah peristiwa dengan makna baru. Makna baru ini gunanya
untuk membuat respon Anin dan aku sendiri menjadi lebih baik.
“Anin, menurut Anin apa yang menyebabkan Guru
Anin bilang begitu?”
“Dia itu tidak perduli perasaan Anin. Yang
dipikirkan cuma Anin harus nurut. Jadi, prestasi akademik Anin sia-sia
saja dong, dibilang percuma. Males ah belajar!” Anin bersungut-sungut.
“Kalau Anin memaknai seperti itu, reaksi Anin
sudah pasti marah dan kesal. Mungkin kecewa juga. Bagaimana kalau kita kasih
makna baru pada peristiwa itu, supaya Anin tidak marah lagi, atau berkurang
kesalnya.” Aku berucap dengan santai, kemudian meneguk air digelasku.
“Maksud Mama apa?”
“Anggap saja Guru Anin belum belajar ilmu
parenting. Dia belum tahu tentang Enlightening Parenting. Dia belum bisa
mengelola emosinya. Coba bayangkan kalau Anin jadi dia. Ada anak muridnya yang
disuruh masuk kelas, tapi tidak segera masuk, padahal jam belajar sudah
dimulai. Emosinya naik, dia marah, sehingga kata-katanya tidak terkontrol.
Makanya yang keluar kalimat seperti itu. Nah, kalau Anin mendengar kata-kata
orang yang sedang emosi, lalu Anin tahu dia juga belum belajar ilmu parenting,
dia belum bisa memilih kata-kata yang baik untuk membuat muridnya termotivasi.
Menurut Anin, apakah perlu kata-katanya membuat Anin marah, kesal, bahkan
sampai berhari-hari masih kesal, terus dibawa-bawa dalam pikiran Anin. Perlu
nggak, Nak?”
Aku melihat perubahan ekspresi yang jelas pada
wajah Anin. Seperti terkejut, lalu sedikit lega.
“Iya, ya. Nggak perlu ya.” Ucap Anin.
Hatiku bersorak. Emosiku sudah
sejak tadi surut. Anin tampaknya sudah merasa lebih baik. Sejenak Anin terlihat
tenang, tapi kemudian emosinya naik lagi.
“Tapi suaranya waktu bilang itu nyebelin
banget, Ma, kedengarannya.” Bibir Anin mengerucut.
Kembali ke 5 pillar berkomunikasi. Tampaknya
aku harus menerapkan point “fleksibel dalam bertindak” untuk meredakan
emosi Anin. Cara satu belum berhasil dengan maksimal, coba cara yang lain.
Kalimat Anin yang terakhir menjelaskan bahwa
dia terganggu dengan suara gurunya saat mengucapkan kalimat yang dianggap
menyebalkan itu.
“Anin, kalau begitu kita main-main yuk. Anin
tahu nggak, kalau manusia ini menyimpan memory dalam pikirannya berupa gambar
atau visual, suara atau auditori, dan rasa atau kinestetis. Sekarang karena
Anin bilang suara guru Anin nyebelin, artinya Anin menyimpan memori itu dalam
bentuk auditori. Nah, coba di dalam pikiran Anin, suara guru itu Anin ganti
dengan suara Sponge Bob. Anin tau Sponge Bob kan? Tokoh film kartun yang
suaranya konyol dan lucu itu? “Kutatap mata Anin sambil memperhatikan raut
wajahnya.
Anin mengangguk.
“Nah, coba bayangkan Anin mendengar guru Anin
bicara kalimat yang tadi tapi suaranya diganti suara Sponge Bob.” Mengganti
suara ini secara teknik disebut submodalities remap.
Anin terdiam. Aku menunggu reaksinya.
Tiba-tiba dia tertawa.
“Hahaha.. iya ya. Jadi lucu. “ Ujar Anin.
Ketegangan di wajahnya mengendur.
Aku menghembuskan nafas lega. Tapi kelegaan
itu tak berlangsung lama. Anin mulai lagi.
“Tapi ekspresi mukanya itu juga nyebelin, Ma.
“ Anin menarik bibirnya menjadi garis datar. Jari-jarinya iseng mengetuk-ngetuk
meja makan seolah menyalurkan kekesalannya.
Wah, lengkap ini. Rupanya Anin
menganggap peristiwa itu sebagai ingatan yang tidak menyenangkan (trauma).
Lagi-lagi aku harus mengandalkan jurus fleksibel dalam bertindak. Anin butuh
mengubah gambaran visual juga rupanya.
“Anin, tadi Mama sudah bilang kalau manusia
menyimpan memory di pikirannya dalam bentuk visual, auditori dan kinestetis.
Coba Anin ingat-ingat lagi peristiwa itu. Seperti nonton film. Anin ingat
bagaimana wajah Guru Anin saat peristiwa itu?”
Anin mengangguk.
“Di skala 1 sampai 10, seberapa besar rasa
tidak nyaman yang Anin rasakan kalau mengingat peristiwa itu?”
“Sepuluh!” Serobot Anin penuh keyakinan.
“Oke. Sekarang coba Anin bayangkan
peristiwa itu. Apakah Anin bisa melihat gambarnya?”
Anin mengangguk.
“Gambarnya bergerak seperti film atau diam
seperti foto?”
“Kayak film, Ma.”
“Kalau kayak film, Anin merasa mengalami
peristiwa itu, atau Anin merasa sedang menonton peristiwa itu?”
“Sedang mengalami.”
“Sekarang, bisa nggak Anin kasih bingkai
film itu. Lalu Anin bayangkan sedang menonton film, yang bintang filmnya Anin
sendiri dan Bu Guru itu. Bayangkan Anin nonton film itu dilayar laptop.
Layar laptopnya berteknologi “touch-screen”ya.”
Aku menunggu beberapa saat.
“Bisa, Nak?”
Anin mengangguk.
“Oke, sekarang coba Anin capture screen layar
yang ada filmnya itu. Anin potret sehingga filmnya menjadi foto atau
gambar yang diam. Mama bantu ya.“
Aku meraih dua telapak tangan Anin.
Kurentangkan dua telapak tangannya berhadapan, kira-kira selebar layar
laptop.
“Nah, kira-kira seukuran inikah gambarnya?”
Tanyaku.
Anin mengangguk.
“Sudah di capture screen? Kalau belum lakukan
sekarang sehingga filmnya menjadi gambar yang diam. Klik!”
Anin mengangguk. “ Sudah, Ma. “
“ Sekarang, apakah Anin bisa melihat gambar
itu? Ada apa di situ?”
“Ada Anin dan Bu Guru.”
“Anin pakai baju apa?”
“Baju seragam hijau.”
“Oke. Sekarang, kita kecilkan gambar itu ya.”
Aku menggerakkan dua telapak tangan Anin perlahan saling mendekat, ujung-ujung
dua jari telujuk dan dua jempolnya kutautkan sehingga hanya ada celah kecil
diantara jari-jari itu.
“Gambarnya jadi kecil sekali. Seukuran celah
di jari Anin ini. Sekarang, gambar itu mau Mama beri cahaya. Mama beri
cahaya yang terang sekali, sangat terang menyilaukan mata. Makin
terang,makin terang, makin terang. Gambarnya hilang tertelan cahaya.”
Aku menggerakkan tangan kananku mendekat ke
jari-jari Anin. Anin kemudian melepaskan jari-jarinya.
“Gambarnya kemana, Nak?”
Anin bengong. “Hilang, Ma.” Jawabnya lirih.
Dia tampak heran.
“Kita ulangi ya. Coba Anin bayangkan peristiwa
itu sekali lagi “
“Kok susah ya, Ma. Gambarnya buram .”
Ucap Anin.
“Oke, sekarang gambar itu kita kira-kira
seukuran layar laptop ya. Kita kecilkan lagi.”
Anin mendekatkan telapak tangannya, lalu
menautkan dua jari telunjuk dan dua jari jempol.
“Sekarang Mama bakar gambar itu. Mama
beri api, gambarnya terbakar, terus terbakar, habis. Arang hitam sisa
pembakarannya hilang ditiup angin”
Anin melepaskan tautan jarinya.
“Coba Anin bayangkan lagi peristiwa
itu.”
Anin mengerutkan keningnya, lalu
menggeleng-gelengkan kepala.
“Susah, Ma.”
“Kalau Anin membayangkan peristiwa itu lagi,
di skala 1 sampai 10, seberapa besar rasa tidak nyaman yang Anin rasakan?”
Anin memandangku dengan tatapan heran,
lalu menjawab,” Nol, Ma.”
“Oya? Yakin? Artinya kalau ingat peristiwa itu
Anin merasa baik-baik saja?”
“Iya. Kok bisa ya?”
Jangankan Anin, aku pun heran. Campuran dari
berbagai teknik mengubah-ubah submodalities baik visual, auditif maupun
kinestetis di kelas training parenting diberikan dengan istilah mild
trauma healing. Cara yang sederhana dan tampak seperti main-main ini
bisa manjur menghilangkan kekesalan Anin terhadap peristiwa tak menyenangkan.
Ingatan atau memory yang disimpan dalam bentuk visual, auditory dan kinestetis
ternyata bisa dimanipulasi, diubah, dirusak, dikaburkan, dihilangkan
dan sebagainya . Lalu efek dari tindakan itu membuat muatan emosi yang melekat
pada ingatan itu pun ikut berubah.
Alhamdulillah emosi negatif yang timbul akibat
peristiwa itu sudah berhasil diselesaikan. Sekarang saat yang tepat untuk
installing belief baru yang memberdayakan.
“Anin sudah bagus prestasi belajarnya.
Kenaikan kelas lalu Anin dapat ranking pertama, dan nilai-nilai Anin sekarang
Mama lihat juga bagus. Anin sudah bisa jadi role model dalam hal meraih
prestasi akademik bagi teman-teman Anin. Coba bayangkan bagaimana ya rasanya
kalau Anin menjadi role model juga dalam hal taat pada peraturan
sekolah. Rasanya bagaimana, Nak?”
Anin tak menjawab, hanya tersenyum lebar.
“Anin bisa?” Tanyaku.
“Bisa.” Jawab Anin mantap.
Aku menepuk-nepuk pundaknya. Anin
berlalu ke kamar, dengan wajah cerah.
1xBet Korean Casino | No deposit bonus codes
ReplyDelete1xbet korean casino offers · 1xBet korean casino offers · 1xBet korean 바카라 casino offers · 1xBet korean casino 1xbet offers · 1xBet korean casino offers · kadangpintar 1xBet korean casino offers · 1xBet korean